Meditasi Rasa
Dalam tidurmu.
Dengan sembunyi kutatap lekat raut wajahmu.
Garis itu semakin jelas.
Mata mengeruh
Tubuh makin hari makin layu
Saat tidurpun kau masih tampak sangat lelah.
Apa yang telah kau beri
Sudah lewat batas lebih
Kau berhasil mananam benih cinta dengan baik.
Tumbuh subur penuh syukur;
Meski harus kau peras keringat kuning dalam segala imaji.
Kau, adalah sebongkah karang yang mampu menahan deras gelombang samudera pasai
Terimakasih atas mimpi yang kau beli dengan rasa gigih.
Situbondo, 16 Juni 2021
2.Mata angin ibu pertiwi
Nusantara hilang arah dalam Padang tandus.
syariat Islam mulai retak tak bermadzhab.
Persatuan menuju jalan hancur.
Para penjajahpun tak jua tersungkur.
KH. Abdul Wahab hasbullah menemui KH Hasyim Asy'ari dengan rasa iba pada bumi pertiwi.
Ia ingin Islam berkumpul dalam wadah tunggal.
Harap akar-akar iman kokoh dan cinta tanah air tidak menjalar kemana-mana.
dalam pendopo kayu, sejuk merdu lengking kicau burung, serta kidung pujian tuhan membelai telinga.
Syaichona Khalil bangkalan mengutus KHR As'ad salah seorang santrinya.
Yang berjuluk sang kesatria kuda putih.
mengantar tongkat dan tasbih pada KH Hasyim Asy'ari.
Derap langkah memikul amanah.
Tasbih yang melingkar dilehernya tak sedikitpun disentuh.
KH Hasyim Asy'ari menyambut As'ad ramah.
Senyum sabit terus merekah.
Kegelisahan berujung jua.
Tengadah doa menemukan arah.
Seonggok resah menuai ridho sang maha guru.
Tasbih yang tetap melingkar di leher KH As'ad diambil dengan bacaan
ya Jabbar ya qohhar
ya Jabbar ya qohhar
ya Jabbar ya qohhar.
Tanggal 31 desember 1926
Wadah itu terbentuk
Dengan nama Nahdlatul ulama
Pohon besar sejuk tempat muslim Nusantara bernaung.
Situbondo, 7 Juni 2021
3.Aku kembali
Maaf dik, aku harus kembali.
Rindu akan kubagi.
Separuh untukmu.
Separuh lagi untuk pesantren ku.
Memang waktu sangat cepat berlalu.
Seperti hembusan angin jendela.
Kita harus siap menabung rindu.
Lalu, kuhamburkan di sepuluh bulan mendatang.
Doa-doamu sudah ku kemasi.
Cepatlah mengering matamu.
Foto-foto mu sudah aku pajang di dompetku.
Tinggal senyum rekah yang belum kudapati.
Aku kembali,
Sampai ketemu kembali kekasih.
Sumberanyar, 6 Mei 2021
4.Gagal bersua
Barang yang semula kukemas rapi.
Terpaksa kumasukkan kembali kedalam lemari.
Tiket pesawat yang aku pesan menjadi biang kekesalan.
Wabah itu masih disini.
Di tengah-tengah ronta kerinduan jiwa.
Setahun mencari nafkah, memeras peluh jauh dari keluarga.
Maaf, lebaran kali ini tak dapat bersua.
Kita hanya bisa menuai rindu dari balik suara.
Tak bisa ku kantongi ampau di saku baju adik-adikku.
Aku tak bisa mencicipi bersama sajian kue lebaran, mendengar ramai tawa para tamu.
Tak bisa ku sentuh jemari kedua orang tua, kerabat dan sahabat.
Melalui sepucuk doa.
Dapat kutemui, kusentuh dan kupeluk mereka.
Dari wabah yang menjadi tabir.
Dari takdir yang berkata lain.
Aku ucapkan, Minal aidzin wal faidzin.
Banyuputih, 9 Mei 2021
5.Meramu takdir
kita masih sepasang kekasih bayangan
Memeluk angan dan hidup dalam kubangan status terlarang.
Namun yakinlah, siti.
Di ujung waktu, cincin emas pasti ku tanam dijari manismu.
Aku akan menjadi lelaki tunggal yang berhak berbaring di sampingmu.
Menjadi selimut tidur dan jemari kasarku yang kan kau sentuh di penghujung sholatmu.
Pelukmu akan menjadi latar tidur siang malam
Kecupan di rona pipimu penutup dari letih seharian mencari sesuap nasi
Aku sedang meramu takdir
Antara aku dan kau yang belum benar-benar menyatu.
Sumberanyar, 1 Mei 2021
6.Lorong rindu
Di jalan ini.
Kita pernah begitu dekat.
Tak menyisakan sejengkal jarak.
Melewati waktu dengan dekapan hangat.
Di jalan ini.
Kali pertama aku candu pada purnama tempatku berteduh di payung malam.
Di jalan-jalan ini
Aku pernah menjadi budak hati.
Lalu menjelma binatang.
Bringas, memangsamu dengan nafsu dan amarahku.
Di jalan ini pula.
Aku menyaksikan sendiri tubuhmu terimbun senja.
"Aku ini langka.
Tak akan kau temui wanita sesabar aku menerima lelaki separuh binatang sepertimu.
Aku tak akan lagi menyangsikan rindu tanpa temu.
Jeruji waktu akan mengajarimu cara membumikan hati"
Mulutmu berapi-api.
Dadamu terpompa dan sorot matamu menyala.
Jalan ini gerimis.
Membawa nestapa pada hulu masa.
Dan aku tak tau lagi arah menuju rumahmu.
Untuk kembali bernaung.
Sumberanyar, 10 april 2021
7.Perayaan sunyi
Setiap malam di kamarku
Merayakan sunyi sampai menjelang pagi.
Bersama secangkir kopi dan sepucuk puisi.
Ku undang hati, nyamuk serta bunyi nyamuk untuk menjadi saksi.
Atas sajak sepi yang ku asuh dengan kasih.
Detak jarum jam berpacu menjadi latar pesta kata.
Pena lihai menari.
Keringat malam membanjiri.
Mencari wajahmu di pekat sunyi.
Untukmu kekasih, kuhantar sebait elegi atas pergimu sebelum terbit mentari.
Sumberanyar, 1 April 2021
8.Kaukah itu
Kau pikat aku dalam senyummu
Merekat dalam tempurung otakku
Kaukah itu
Anak hawa yang tuhan titip dalam selip tengadah doa
Jika benar, mendekatlah.
Sudahi dahaga sepiku di bahtera cinta
Dekap dan sekap batin serta ruh ku.
Ninabobokkan degup jantung yang mulai diluar kendali acapkali bersitatap dengan sorot matamu
Kemarilah.
Dekatkan telingamu di dadaku
Agar kau mendengar dentuman qolb yang bergemuruh
Tuang lebih pada kurang diriku
Sempurnakan iman yang tak utuh
Sumberanyar, 11 maret 2021
9.Malam-malam sepi
Sepi panggil kawan-kawanmu
Duduk dan temani aku di pelataran otakku
Bersahabatlah dengan kekasih yang ku sebut hati
Anyam diksi dengan bait elegi
Menginaplah
Pejamkan mata kita di kasur lapuk itu
Aku ingin bersenggama denganmu
Dan kecupan tinta basah di sekujur tubuh
Agar lahir buah hati yang akan kuberi nama puisi
Sudikah dirimu menjadi ibu dari sajak-sajak ku?
Sofyan, 2021
10.Surat kecil untuk bung karna
Selamat bung
Akhirnya kau duduk dikursi yang kau dambakan.
Engkau tampak sangar bersampul baju putih bersih dan wajah berbinar.
Di tambah lagi kumis tebal yang membingkai di wajahmu.
Senyum rekah memberi kehangatan pada siapa saja yang memandang.
Lambaian tangan adalah alarm memulai perubahan
Bung ... Nostalgialah sebentar.
Kemarin pohon disepanjang ruas jalan rela di tebang demi menakar janji manismu.
Kini waktumu menebang segala macam kejalangan sepanjang pengabdianmu.
Kemarin bahu-bahu jalan kuat menopang poster wajahmu.
Kini tiba waktumu menopang rakyat pengangguran, kemiskinan dan ketertindasan oleh kapitalis yang suka jajan
Aku ingatkan kembali bung.
Surat suara yang di hadiahkan padamu adalah suara penuh harapan
Aspirasi masyarakat yang tidak ingin dibungkam oleh kursi kekuaasaan
Pasir putih sudah terlalu purba mengamini doa karam di bibir nelayan.
Para petani hanya bisa menenggelamkam wajah tatkala tikus-tikus berkemeja berpesta. memporak-poranda lahan padinya.
Di atas bumi santri ini maukah kau setia pada kota kami yang sempat mendua
Yang terlantar di ujung dermagamu
Tersesat di hutan belantara nan gersang penuh haru
Sumberanyar, 4 maret 2021
11.Sajak surau tabing
Senja telanjangi malam.
Lampu tongkang terpajang nyala jingga.
Lantunan pujian tuhan terdengar dari balik toa surau tabing itu.
Ki ajjhi, bersila dengan lilitan sorban pada lehernya.
Tikar di gelar tasbih di putar.
Badan di ayunkan ke kiri ke kanan.
Kidung pujian tuhan menggema.
Santri-santri khusuk dan tunduk.
Sebab jika gurau badanlah Di amuk.
Di tiap petang surau tabing.
Ki ajjhi tanpa pamrih mendulang ilmu tulang pada para santri.
Menuntun eja Alif, ba', ta' hingga fasih.
Doa berkah bertabur di sudut-sudut surau.
Di pungut santri sebagai bekal selamat
Untuk kado kecil kepada orang tua dan gurunya kelak.
Sumberanyar, 26 februari 2021
12.Pagi dirumahku
Setiap pagi di rumahku.
Orang tuaku menjemput rejeki pagi sekali.
Sebelum ayam mematuk tanah kala terbit mentari.
Ibu menata hitung jajan berbungkus plastik olahannya.
Sedang bapak menghangatkan mesin sepeda.
Semangat mencari nafkah untuk aku dan adikku seperti tungku dapur kami yang terus membara.
Hangat keharmonisan tumbuh senyum rekah pada nyala purnama pagi buta.
Dari fajar hingga senja.
Ibu dan bapak tahu, Meski kadang isi dompet tak tebal yang terpenting rejeki tak padam.
Syukur alhamdulillah cuan telah datang.
Kebaikan tuhan untuk seonggok impian.
Sumberanyar, 25 februari 2021
13.Kopi malam ini
Apalah arti secangkir kopi malam ini tanpa pelukan kekasih
Secangkir kopi jahe tak mampu menghangatkan tubuhmu
Gigil lalu beku
Jaket tebal yang melapisi tubuh layu
Rintik hujan hanya menjadi alat hitung seberapa sepi dirimu
Sebasah apa lukamu
Di genang kenang yang engkau kuras pada tiap sesap kopi malam ini
Senyum manjanya masih tertanam di ampas kopi dua menit lalu
Dari dingin, kopi jahe dan sebuah pelukan
Ada tanya besar yang belum terjawab.
Engkau yang tak pandai melupakan
Atau dia yang enggan tuk menghilang
Sukorejo, 9 februari 2021
14.Keluh Maria kepada kawannya
Menjadi wanita lajang sepertiku haruslah pandai memberi hati
Apalagi umur kiang menguning
Menunggu sekaligus mencari pria yang siap mempersunting diriku
Teman sebayaku sudah beranak dua
Sedang aku masih sendiri dan dikira janda
Perawan tua dan juga tak bekerja jelas menjadi bulan-bulanan fitnah para tetangga
Aku harus memilih di usia kepala tiga
Menunggu pria yang aku cinta
Atau menerima siapa saja yang memintaku menjadi istrinya
Nasib malang perawan tua seperti ku
Untuk menikah cinta nomer dua
Nomer satu adalah nafkah
Syukur-syukur jika mampu membelikanku gincu dan sidu
Aku akan mengucapkan cinta kepadamu tiap pulang kerja
Dan kecupan mesra di keningmu
Sumberanyar, 19 februari 2021
15. Puisi ; engkau, kiai
Detak jam dinding semakin tegas
Nan dengung di telinga jadi latar kesunyian
Mebingkai puisi yang aku tulis perihal engkau kiai
Pena tertatih – tatih menulis ke besaranmu
Semesta akan mengutuk jika puisi yang aku tulis tak sesuai dengan sosok dirimu yang teramat kama
Majas apa yang tepat untuk meng-qiyas-kan dirimu
Akan menghabiskan banyak tinta, derai detik dan peras imaji agar puisi berujung padmarini tentang sosokmu
Kiai, engkau adalah puisi yang tak berawalan dan tak berujung
Sumberanyar, 10 januari 2021
16.Sampai waktu
Kumpulan burung gagak berkabung
Dirumah kuno itu, ia lantukan kabar pejuang yang rela mati di tanah kekasih
Sabda petuah lama di ambil alih sebagai dalih atas siasatnya sendiri
Bisik-bisik rendah tinggi
Menelisik nyeri kehulu hati
Tersenggal atas amarah yang menjajah jiwanya
Di ketiak malam, bait doa lirih dalam peraduan
Lantaran perih luka makin terasa
Tengadah jemari tanpa henti
Harap segala pinta lekas tersaji
Esok jika sampai waktu
Ajaklah kumpulan burung gagak itu menikmati hidangan tuhan di puncak peraduan
Di megah firdaus yang di bangun dengan ikhtiar dan tawakkal
Sampai waktu bisik-bisik itu tak lagi terdengar
Sumberanyar, 8 november 2020
17. Qiyamul lail
Kidung pujian tuhan terdengar dari balik toa
Meliuk, melengking cumbui gendang telinga
Ahh ini waktu yang tepat untuk merayu-Mu
Duh gusti, seperti janji-Mu
Engkau akan menjamu pada tiap hamba yang tandang
Sebab sembah sujud di sepertiga malam
Alifkanlah diriku
Tegakkan iman, luruskan pada jalan Ridho-Mu
Agar dapat ku teguk syafaat dan rahmat-Mu
Di mahsyar yang penuh dahaga
Menuju jannah yang ku damba
Allahumma ampunilah
Tanah tapa, 21 juni 2020
18.Puisi Buntu
Pekat malam menawanku dalam sunyi
Imajinasi liar seketika
Kurogoh bolpoin dan secarik kertas lusuh
Ku tuang diksiku sepatah kata
Sajak menari
Seruput kopi sisa tadi sore
Ku hisap rokok dalam-dalam
Hembuskan lagi
Ku hisap kembali
Berjam-jam berlalu
Puntung rokok berbaris rapi dalam asbak
Puisi belum juga selesai
Sudah berapa rokok yang aku bakar
Pada hisapan terakhir
Puisiku juga berakhir
Ruang sunyi, 05 November 2020
19. Risalah pada sari
Pena menari saja di bawah rinai purnama yang dulu sering kau tatap
Aku tak tau risalah ini akan kau baca atau hanya menjadi seonggok kertas lusuh di laci lemarimu
Namun kau harus tau sari, pada tiap abjad ini perihal rinduku yang bertamu
Pada sunyi yang mendekam dari balik kerut keningku
Pergimu memang purba
Kenangannya saja belum punah
Jiwaku terpasung pada lengkung sabit yang sering kau pamerkan dihadapanku
Membekas hingga siluet tentangmu enggan bergegas
Semesta yang tak ramah menjelma tanya dalam bingkai peristiwa yang menyayat luka
Maaf, perihal dirimu aku lupa cara melupa
Bagaimana keadaamu?
Titipkan salam pada suamimu itu
Dariku, kekasihmu dulu
Situbondo, 24 desember 2020
20.Sliwung ; Hari terakhir
Di hari terakhir ia tatap lekat wajah saban warga
Ia benar –benar tak sanggup senyum rekah lenyap dari pandangannya
Ia menggutuki temu dan waktu yang hinggap seperti angin jendela
Esok ia tak akan lagi mencium ambu masakan lezat ibu-ibu sliwung
Dan sapa ramah penuh candala
Pelukan hangat adik-adik berujung isak tangis
Ambigu pada jiwanya tak dapat membendung genang air mata
Lantaran ia juga tidak tau apakah ini bisa disebut pulang atau pergi
Teras rumah, 1 oktober 2019
21.Gang kumuh; engkau
Di ujung gang kumuh
Masih berserakan puing-puing kenangan siluet tentangmu
Angin dan waktu tak betul-betul mampu memunguti wajahmu
Ada bayang-bayang lambaian di antara lalu lalang
Fatamorgana; langkah lunglai lantaran jalan teramat panjang untuk mengembalikan seutas senyum melebur gandengan tangan
22 Pejabat tak suka puisi, bung
Wajar saja kau tak mau menulis puisi
Karena yang kau tau puisi takkan membuat basah tenggorokanmu
Apalagi untuk mengganjal perut
Penamu tak lekas mengering
Sebab tinta hanya dibuat untuk menelanjangi angka-angka rupiah si miskin.
Penyair memeras rasa mereka dalam aksara
Kau memeras rasa dalam segelas Vodka
Ku sebut kau Malin Kundang NKRI
Durhaka pada ibu Pertiwi
Dan ku kutuk koruspi di hukum mati.
Situbondo, 20 November 2021
23 Aku cemburu pada doamu.
Sampai saat ini
Aku tak punya diksi indah pengantar lelapmu.
Hanya ucapan selamat tidur dengan tumpukan semoga saat matamu terbangun.
Tidak seperti mantan piaraanmu yang mahir menyulam bait elegi.
Entah mana yang membuatmu lebih pulas
Dia yang bercakap tangkas
Atau doa-doaku yang amat luas
Banyuputih, 12 Januari 2022
24 Terimalah maafku
Maaf atas segala sakit yang kau dera
Sebab kata-kataku seperti pisau yang haus darah
Sekali lagi Maaf, jika sekujur tubuhmu kuyup darah oleh luka-luka masa laluku
Kau tak ada urusan, namun sakitmu begitu sepadan.
Semakin banyak air mata jatuh.
Semakin subur cinta itu padaku.
Dimana kau sembunyikan dendam itu?
Apakah benci sudah kau kebiri?
Apakah amarah sudah kau gugurkan lalu pendam dalam tanah?
Kukira begitu, sebab dadamu membumi.
Situbondo,20 Januari 2022
25. Malam tanpamu
Tidak seperti malam kemarin
Kali ini tanpamu
Benar-benar kosong
Tubuhku berselimut sunyi
Dan memeluk rindu yang empuk
Kapan kau akan menemani lelapmu lagi
Mengantar kantukku Sampai sinar mentari masuk di sela-sela jendela kamarku
Wangi tubuhmu masih melekat di kasurku yang lapuk.
Membuat malamku tadarus puisi rindu semalam suntuk
Sumberanyar, 16 February 2022
26. Sepotong maaf untuk istriku
Tataplah lelakimu ini
Seseorang yang dulu kau kira tonggak remuk semesta
Seiring waktu akhirnya kau tau.
Aku tak setangguh itu.
Kesengsaraan hidup harus kau tempa
Kau salah meminta syurga pada lelaki durjana.
Tidak ada tanggal lagi untuk Kembali tinggal.
Luka dadamu kian membesar
Pergi adalah hal yang tak dapat diitawar-tawar.
Aku paham sayang
Kau jengah sebab ulahku yang memburu salahmu
Dariku, maaf atas segala sengsara
Dan Luka itu jadikan bekal untuk memilih lelakimu yang baru.
Banyuputih, 30 Maret 2022
27. Doa dalam dendam
Aku hafal kalimat itu
Kalimat yang sering ku lantunkan tiap waktu
Beserta hujan air mata yang mengiringinya
Berharap sepenuh citaku
Sampai malaikat sibuk memunguti semogaku
Aku hafal betul kalimat itu
Kalimat haus darah
Menawan setumpuk asa
Membunuh mimpi dengan lidahmu
Aku hafal betul kalimat itu
Sepatah kata penuh siksa
Sedikitpun aku tak goyah.
Pada durjana yang kau cipta
Seperti menumpuk arang pada nerakamu sendiri
Membakar tubuhmu
Menguliti cacianmu
Lalu lebur dalam muara doa-doa.
Sukorejo, 27 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar