IMPIAN ANAK BUNGLON

Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, salah seorang guru bertanya perihal cita-cita "ketika sudah dewasa nanti, kalian mau jadi apa?" Tanya guru di depan dengan suara lantang. Respon teman-teman SD gue waktu itu beragam, ada yang mau jadi guru, dokter, pelukis, tentara, polisi dan banyak lagi profesi yang keluar dari mulut mereka. Gue yang sering ngebolak balikin buku atlas dan nonton film kartun dengan gagahnya menjawab "pilot" dengan di ikuti senyum bangga dari diri gue. Meski gue enggak tau apa dan untuk apa menjadi seorang pilot yang gue jawab secara spontan. 
     Beberapa tahun berlalu. Lanjut di sekolah Menengah Pertama (SMP), pada pelajaran Matematika, guru yang kuwalahan menerangkan materi yang terlihat gelap di mata siswa kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama "mau jadi apa?". Jawaban temen-temen tetap seputar profesi itu saja, kalau enggak polisi ya tentara, kalau enggak dokter yah guru. Sedangkan gue, Yang udah mulai menyadari kemungkinan menjadi seorang pilot nol persen, seketika itu juga beralih pada cita-cita lain, cita-cita yang spontan keluar "Guru" ucap gue bangga.

     Beberapa tahun kemudian, di bangku sekolah menengah atas. Lagi-lagi dari pertanyaan yang sama dari seorang guru. Seolah itu pertanyaan Wajib yang harus di ajukan kepada siswa. Gue yang mulai beranjak dewasa, sebentar lagi akan merasakan bangku kuliah, diam-diam mulai enggak punya cita-cita. Terlalu bingung mau menjadi apa dan harus bagaimana, untuk menyebut satu profesi saja gue merasa sangat malu, terlalu banyak pertimbangan untuk mengucapkan. Masak iya gue mau jadi ini nanti? Jadi profesi ini kan gini dan gitu? Mampu enggak ya meraih cita-cita gue? Bapak gue enggak mungkin punya uang yang cukup untuk menyekolahkan gue untuk menjadi ini dan itu. Terlalu banyak alasan yang bersarang dalam otak gue. Akhirnya gue berkeinginan hidup enak dan uang selalu ada tiap hari itu udah cukup. 
     Dua bulan menjelang kelulusan, gue tambah bingung harus masuk jurusan apa. Padahal teman-teman yang lain udah pada nentuin kuliah dimana, ingin masuk jurusan apa dan setelah lulus mau jadi apa. Gue masih sibuk mengamati kerja dan kehidupan seseorang jika menjadi profesi tertentu sebagai opsi cita-citaku.
Dan pada akhirnya, setelah lulus gue masuk di fakultas pendidikan dengan beberapa pertimbangan yang sudah gue pikir berulang kali. Gue ingin menjadi guru.

***

Setelah Menjadi sarjana, gue kira akan langsung mendapat pekerjaan, hidup enak dan tenang, ternyata salah. Kuliah tidak menjamin hidup kita akan mapan, kuliah hanya memberi bekal bagaimana kita pintar menggunakan peluang. Mencari pekerjaan sangat sulit, sedikit keahlian dan tanpa orang dalam kita enggak bakal jadi pantauan di lembaga sekolahan maupun di perusahaan, gue kira begitu, jika tidak begitu di rumah loe,  loe mungkin sedang tidak berada di bumi, hidup di bumi keras bagi mereka yang lembek, dan gue enggak mau di anggap lembek.

     Sebulan kemuadian, tuhan menghentikan hidup lontang-lantung gue, salah satu kawan gue menawarkan lembaga yang sedang butuh tenaga pendidik, lembaga yang masih baru dirintis dan butuh beberapa guru. 
 "Di sana enak yan, elo langsung ngajar dan jadi guru pamong, kalau loe ngelamar di sekolah lain, mentok kalau di terima mungkin hanya jadi staff sekolah, dan di sana elo masih butuh beberapa tahun untuk ngajar" ucap temen gue di tengah pembicaraan.
"Tau darimana loe?" Gue menimpali 
"Kakak sepupu gue noh buktinya, udah hampir 2 tahun di lembaga Sono masih aja jadi staff, ini kesempatan loe menjadi PNS sangat besar men" 
Gue yang enggak tau apa-apa hanya bisa manggut-manggut saja, sepertinya omongan temen gue ada benernya juga, gue menyutujui ajakannya, gue enggak boleh buang kesempatan ini.
"Kapan gue bisa langsung ketemu bapak kepala sekolah?" 
"Besok, loe jam 8 ke sekolah, gue tunggu elo di sana, entar gue yang anterin loe menghadap pak kepala"
"Yaudah besok jam 8 gue kesana"
Besoknya jam delapan kurang lima belas menit gue udah berbaju sangat rapi sekali, dari baju sampai sepatu. Gue harap dengan penampilan gue yang super duper rapi dapat meyakinkan pihak sekolah kalau gue memang betul-betul niat mengajar di sekolah ini. Di depan gerbang sekolah temen gue udah berdiri disana, entah sudah berapa lama dia menunggu gue.
"Ayuk masuk, pak kepala udah nunggu" ajak temen gue
Gue mengikuti langkah temen gue sampai tepat berada di depan ruang kepala sekolah.
"Ya udah loe masuk gih sana, gue nunggu di luar!"
Gue hanya mengangguk meng-iyakan.
"Assalamualaikum" ucap gue sambil mengetok pintu.
"Waalaikumsalam, silahkan masuk pak" jawab pak kepala sekolah seraya mempersilahkan gue masuk.
"Duduk pak" lanjutnya dengan tangan isyarat mempersilahkan.
Namanya bapak johandri, kepala sekolah SMP harapan. Senyum yang terus mengembang sepertinya beliau ini sangat ramah dan humoris.
"Saya Iyan pak, maksud kedatangan saya kemari untuk melamar menjadi tenaga pendidik di SMP harapan" ucap gue singkat saraya menyerahkan surat lamara yang berisi ijazah dan biodata gue.
Bapak johendri memasang kacamata untuk mengecek lembar demi lembar tentang gue. Manggut-manggut sesekali. Gue yang enggak paham juga ikut manggut-manggut.
"Udah berkeluarga" tanyanya pada gue yang sedari tadi manggut-manggut. 
"Belum pak" 
"Berkeluarga donk" 
"Hah!" Gue bingung dengan maksud bapak johendri, entah beliau menyuruh gue berkeluarga atau gimana gue juga enggak paham.
"Bapak kok belum berkeluarga? Berkeluarga donk!" Lanjutnya lagi.
Ternyata bapak johendri ingin bercanda, tapi sayang, GARING BANGET HAHAHA.
"Iya pak, setelah lamaran ini diterima saya akan lamar pacar saya pak" ucap gue membalas candaan pak johendri yang sama sekali tidak menggelitik perut gue. Memang tidak lucu atau selera humor gue rendah. Pak johendri terbahak-bahak mendengar tanggapan gue, gue bingung. Haruskah gue terbahak-bahak juga?
"Iya sudah, bapak iyan saya terima menjadi guru di SMP harapan" ucapnya setelah menyemburkan asap rokok dari mulutnya.
"Serius pak?" Tanya gue sekali lagi, memastikan.
Bapak johendri mengangguk mantap, "bapak sekarang silahkan masuk ke kelas untuk memperkenalkan diri, biar bapak Adi yang mengantarkan." Gue mengangguk lalu pamit keluar menuju kelas.
Sesuai instruksi pak johendri, Adi, temen gue , mengantarkan gue ke kelas untuk memperkenalkan diri kepada para siswa. Setelah sampai di depan kelas. Adi pamit ke kantor untuk menyelesaikan tugasnya. Di pertengahan perkenalan gue kepada siswa. Tidak tau kenapa, gue malah menanyakan tentang cita-cita kepada para siswa.
"Coba kamu setelah besar nanti cita-cita kamu mau jadi apa" tanya gue sambil menunjuk salah satu siswa. 
"Polisi pak" ucapnya santai. Bagus, keren. Gue memberi apresiasi dengan tepuk tangan yang di ikuti siswa lain.
"Kalau kamu?" Tanya gue selanjutnya kepada salah satu siswa berbadan gempal yang duduk di sebelahnya.
"Gamers pak" ucapnya mantap.
Gue mendengar itu melongo, enggak percaya. Ini cita-cita apa? Kok bisa-bisanya hal ini menjadi cita-cita? Gue tambah bingung harus merespon bagaimana. 
Gue lanjut saja ke siswa berikutnya. Sama, cita-citanya sama ingin menjadi gamers mobile legend, game yang saat ini di gandrungi oleh semua lapisan manusia, dari anak-anak, remaja, dan orang tua sekalipun. Gue tanya lagi ke siswa berikutnya. Gue berharap penuh kepada siswa ini.
 "Saya mau jadi pro prayer pak". Busett, ini lagi, pro prayer. Game memang sudah ada dari gue masih TK, Super Mario, takken, dan game-game PlayStation lainnya. Tapi ketika gue di tanya tentang cita-cita, gue enggak pernah tuh bilang mau jadi super Mario pak, jin kazama pak Atau bilang gamer dan pro prayer.  Meskipun gamenya enggak sama. sama aja, masa-masa gue masih sekolah game-game tertentu memang sudah nge-trend pada saat itu. apa yang sebenarnya berkongkok di pikiran mereka saat ini. Yang Jelas ini harus jadi perhatian pendidik. Entah solusinya bagaimana, mau buat mata pelajaran khusus atau ekstrakulikuler baru, yang paling penting sekolah menurut gue enggak boleh ketinggalan zaman atau terlalu mengikuti zaman. Pendidikan harus berdiri di tengah-tengah kehidupan mereka untuk memberikan jalan masa depan yang cerah kepada para peserta didik. Karena melihat dari apa yang ada di hadapan gue saat ini 80% mereka Semua ingin menjadi gamers, gue kira pola pikir dan kebiasaan mereka harus segera dirubah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi | Meditasi Rasa

Meditasi Rasa