Kumpulan Puisi | Meditasi Rasa
Detak jam dinding semakin tegas
Nan dengung di telinga jadi latar kesunyian
Mebingkai puisi yang aku tulis perihal engkau kiai
Pena tertatih – tatih menulis ke besaranmu
Semesta akan mengutuk jika puisi yang aku tulis tak sesuai dengan sosok dirimu yang teramat kama
Majas apa yang tepat untuk meng-qiyas-kan dirimu
Akan menghabiskan banyak tinta, derai detik dan peras imaji agar puisi berujung padmarini tentang sosokmu
Kiai, engkau adalah puisi yang tak berawalan dan tak berujung
(2021)
Aku malu padamu mak
Jemari kasarmu
Guratan kerut di wajahmu
Serta memutih rambut mu
Aku malu padamu mak
Di usiaku yang kian matang
Aku tak sanggup mengganti daster lusuh yang kau kenakan
Dan kopyah bapak yang menguning oleh perasan peluh
Bahkan tak ada uang sepeser pun dariku tuk sekedar membeli lauk dan bumbu dapur
Ingin aku merantau
Tapi apalah arti kaya, mengirimkan banyak uang jikalau selepas tidur tak ku dapati senyum satu senti pun di bibirmu mak
Aku ingin tetap di sampingmu
Menjadi cagak di renta tubuhmu
Karna jauh darimu aku tak kuasa meronda rindu yang tak kunjung bermuara temu
Di syurga, 12 januari 2021
Sampai waktu
A
Kumpulan burung gagak berkabung
Dirumah kuno itu, ia lantukan kabar pejuang yang rela mati di tanah kekasih
Sabda petuah lama di ambil alih sebagai dalih atas siasatnya sendiri
Bisik-bisik rendah tinggi
Menelisik nyeri kehulu hati
Tersenggal atas amarah yang menjajah jiwanya
Di ketiak malam, bait doa lirih dalam peraduan
Lantaran perih luka makin terasa
Tengadah jemari tanpa henti
Harap segala pinta lekas tersaji
Esok jika sampai waktu
Ajaklah kumpulan burung gagak itu menikmati hidangan tuhan di puncak peraduan
Di megah firdaus yang di bangun dengan ikhtiar dan tawakkal
Sampai waktu bisik-bisik itu tak lagi terdengar
Sumberanyar, 8 november 2020
Qiyamul lail
Kidung pujian tuhan terdengar dari balik toa
Meliuk, melengking cumbui gendang telinga
Ahh ini waktu yang tepat untuk merayu-Mu
Duh gusti, seperti janji-Mu
Engkau akan menjamu pada tiap hamba yang tandang
Sebab sembah sujud di sepertiga malam
Alifkanlah diriku
Tegakkan iman, luruskan pada jalan Ridho-Mu
Agar dapat ku teguk syafaat dan rahmat-Mu
Di mahsyar yang penuh dahaga
Menuju jannah yang ku damba
Allahumma ampunilah
Tanah tapa, 21 juni 2020
Puisi Buntu
Pekat malam menawanku dalam sunyi
Imajinasi liar seketika
Kurogoh bolpoin dan secarik kertas lusuh
Ku tuang diksiku sepatah kata
Sajak menari
Seruput kopi sisa tadi sore
Ku hisap rokok dalam-dalam
Hembuskan lagi
Ku hisap kembali
Berjam-jam berlalu
Puntung rokok berbaris rapi dalam asbak
Puisi belum juga selesai
Sudah berapa rokok yang aku bakar
Pada hisapan terakhir
Puisiku juga berakhir
Ruang sunyi, 05 November 2020
Risalah pada sari
Pena menari saja di bawah rinai purnama yang dulu sering kau tatap
Aku tak tau risalah ini akan kau baca atau hanya menjadi seonggok kertas lusuh di laci lemarimu
Namun kau harus tau sari, pada tiap abjad ini perihal rindu yang mengetuk malam.
Pada sunyi yang mendekam dari balik kerut keningku
Pergimu memang purba
Kenangannya saja belum punah
Jiwaku terpasung pada lengkung sabit yang sering kau pamerkan dihadapanku
Membekas hingga siluet tentangmu enggan bergegas
Semesta yang tak ramah menjelma tanya dalam bingkai peristiwa yang menyayat luka
Maaf, perihal dirimu aku lupa cara melupa
Bagaimana keadaamu?
Titipkan salam pada suamimu itu
Dariku, kekasihmu dulu
Situbondo, 24 desember 2020
Hari terakhir di Sliwung
Di penghujung waktu ia tatap lekat wajah saban warga
Ia benar –benar tak sanggup senyum rekah lenyap dari matanya
Ia menggutuk temu dan waktu yang hinggap seperti angin jendela
Esok ia tak akan lagi mencium ambu masakan lezat ibu-ibu sliwung
Dan sapa ramah penuh candala
Pelukan hangat adik-adik berujung isak tangis
Ambigu pada jiwanya tak dapat membendung genang air mata
Lantaran ia juga tidak tau apakah ini bisa disebut pulang atau pergi
Teras rumah, 1 oktober 2019
Komentar
Posting Komentar