sekumpulan prosa
Tulisan-tulisan ini adalah sampah kepala.
Hanya pemulung rasa saja yang kuat dengan aroma busuknya.
Kali ini, kita harus kompromi.
Aku tidak tau, bagaimana mekanisme rasa cinta dapat tumbuh tanpa perlu diminta, merekah tanpa perlu di paksa dan seolah semesta mendorongku untuk lekas lelap dalam pelukmu. Kini aku seperti pekelana ulung tanpa alat navigasi, karena hati akan tetap menuntunku kehadapanmu dengan seonggok pinta yang kuharap akan kau amini. Ini tampak sporadis, rasa yang egois sekaligus apatis. Aku ingin mengatakannya sedari dulu, tapi aku merasa terlalu siang untuk mengucap aku sayang padamu.
Namun kali ini, dengan segenap-genapnya hati. Kuhantar rasaku yang sempat terlantar di lorong waktu. Kupasrahkan semua padamu. Entah kau anggap ini sebuah malapetaka ataukah anugrah, aku siap menanggung resikonya, sekali lagi aku ulang, maukah kau menerima rasaku?
Lekuk di bibirmu yang manis merekah seketika, pipi yang semula biasa-biasa saja mulai memerah. Aku tau, ini bahasa khasmu untuk berkata iya, menerima tanpa kata, menyambut perasaanku dengan ramah. Di ujung senja, kita membuat konspirasi untuk saling menyayangi tanpa jeda. Tatkala senja usai, aku mengantarkanmu sampai persimpangan jalan. Sampai sini dulu, kataku. esok akan tiba waktu, aku datang ke rumahmu sebagai menantu, mengetuk pintu untuk bertamu, dan kau menyuguhkan segelas kopi untuk kuseduh.
Komentar
Posting Komentar