Sebuah Catatan Hati Yang Belum Kau Ketahui

      Aku tidak tau, bagaimana mekanisme rasa cinta dapat tumbuh tanpa perlu diminta, merekah tanpa perlu di paksa dan seolah semesta mendorongku untuk lekas lelap dalam pelukmu. Kini aku seperti pekelana ulung tanpa alat navigasi, karena hati akan tetap menuntunku kehadapanmu dengan seonggok pinta yang kuharap akan kau amini. Ini tampak seporadis, rasa yang egois sekaligus apatis. Aku ingin mengatakannya sedari dulu, tapi aku merasa terlalu siang untuk mengucap aku sayang padamu.

     Namun kali ini, dengan segenap-genapnya hati. Kuhantar rasaku yang sempat terlantar di lorong waktu. Kupasrahkan semua padamu. Entah kau anggap ini sebuah malapetaka ataukah anugrah, aku siap menanggung resikonya, sekali lagi aku ulang, maukah kau menerima rasaku?
     Iyan menyudahi sebuah narasi curhatan tentang isi hatinya yang ia tulis di blog pribadinya. Jemari jempolnya  meng-klik tombol unggah dengan mencantumkan foto perempuan yang iyan sukai selama ini. Heni Amalia, perempuan elok perangainya yang mampu memikat hati Iyan. Berderai-derai ribu detak-detik waktu menjadi saksi atas cintanya yang iyan pendam selama ini. Tidak ada keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya, Ia terlalu takut dengan jawaban yang akan ia terima. Iyan mengira terlalu dini untuk berkata sejujurnya perihal rasa, sedang hati tak mampu membendung cinta yang makin merekah. Iyan menggutuki waktu, hati dan pikirannya sendiri yang tak mau berkonspirasi. Melalui sebuah narasi hati berharap akan ia ketahui rasa cintanya selama ini.
     Iyan menghela napas panjang lalu merebahkan tubuh kurusnya, memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong hingga beberapa menit. Klung! Suara dari telepon pintarnya membuyarkan lamunan. Sebuah pesan masuk dari Heni. Dengan ragu-ragu iyan membaca pesan dari Heni, di ikuti degup jantung yang terus berpacu.
"Aku sudah membacanya! Apakah kau benar-benar serius?" 
Mata iyan terbelalak, Heni membaca curahan isi hati yang Iyan unggah di blog pribadinya.
Jantung berdegup sangat kencang, tenggorokannya mengering membuat Iyan menelan ludah beberapa kali. Hampir dua menit ia mematung. Iyan bingung akan membalas apa tentang rasa yang tertangkap basah.
"Aku harus mengatakannya yang sebenarnya sekarang juga" gumamnya dalam hati.
Iyan menghela napas panjang, lalu membalas pesan dari Heni.
"Iya, Heni. Aku benar-benar serius, rasa ini fakta, bersediakah kau menerimanya?" Pesan dikirim. Iyan mematuk-matuk paha dengan telapak tangannya di sela-sela menuggu pesan balasan. Ia benar-baner takut akan jawaban heni selanjutnya. Bagaimana jika jawaban diluar ekspektasi, tapi bukankah cinta di tolak adalah konskwensi logis. Ambigu jiwanya, harap-harap cemas semoga tidak menjadi pemain tunggal dalam sebuah rasa. 
Berselang beberapa menit kemudian, telepon iyan berdering, tertera nama Heni di layar telponnya, dengan cepat Iyan mengangkat telepon yang sedari tadi ia pandangi.
"Halo, assalamualaikum" ucap Heni lembut dari balik telepon.
"Wa... waalaikumsalam Heni" jawab Iyan dengan sedikit terbata-bata. Jantungnya berdebar sangat kencang kali ini.
"Apa kau benar-benar serius tentang apa kau tulis di blog mu?" Tanya Heni.
"Iya Heni" jawab iyan singkat.
"Yan, kau suka menulis, bisa ku katakan kau seorang penulis, dan aku tahu betul, penulis adalah penipu handal yang bisa membawa  si pembaca ke arah yang penulis mau" 
Iyan menghela nafas panjang, membisu beberapa detik.
"Heni, kukira ini bukan waktunya bagiku menjelaskan mengenai sudut pandangmu bagaimana seorang penulis bermain dengan penanya. Yang perlu kau tau saat ini Heni, kau adalah penulis yang membaca ulang hasil tulisannya seperti apa yang aku tulis di blog pribadiku perihal rasaku padamu" terangnya panjang lebar.
"Maksudmu" tanya Heni kurang mengerti.
"Kau sudah menguasai separuh jiwaku, apa yang aku tulis perihal rasa adalah cinta yang mengalir pada pena, rasa sayang ini benar-benar fakta" ucap Iyan meyakinkan.
"Benarkah?"
"Seribu kali kau bertanya seperti itu, jawabanku tetaplah sama"
Keduanya sama-sama hening beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Heni menghela napas.
"Iyaa, aku bersedia" ucap Heni singkat, di ikuti senyum manis pada bibirnya.
Iyan mengernyitkan dahi "benarkah?" Tanya Iyan memastikan.
"Seribu kali kau bertanya seperti itu, jawabanku tetaplah sama" canda Heni meniru ucapan Iyan. 
Iyan mengukir senyum, "Masha Allah, Alhamdulillah" 
" Ya sudah Heni, aku tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum"
"Waalaikum salam"

***
Di Rabu siang, matahari sedang terik-teriknya, menerangi bumi tidak setengah-setengah. Jalanan ramai di penuhi lalu lalang kendaraan, hiruk pikuk perkotaan tidak cukup mampu mengusik dua manusia yang sedang memadu kasih di bawah pohon rindang taman kota. Semesta milik mereka hari ini, oleh sebuah genggaman tangan yang merekat, pelukan hangat dan tatapan sejuk dua manusia yang mengais guguran rindu dari sekian waktu berserakan di otaknya. 
"Bicaralah, kita membatu sedari tadi" ucap Heni memulai perbincangan.
"Aku mencintaimu" Iyan menatap Heni lekat, senyum mereka mengembang.
"Aku juga mencintaimu" balas Heni
"Sejak kapan?" 
"Dua menit lalu" canda Heni.
"Jangankan dua menit! dua detik lalu kau baru mencintaiku. Aku adalah lelaki beruntung yang bisa memilikimu" ucap Iyan seraya mengelus pipi Heni.
Senyum semakin rekah, genggaman tangan semakin erat, rona wajah berubah warna tatkala Heni mendaratkan bibirnya pipi iyan.
Bersamanya, waktu terasa cepat berjalan. Bola jingga itu sebentar lagi menenggelamkan tubuhnya. Iyan memusatkan pandangannya pada heni, heni menunduk. Tidak ada satu kata pun yang dapat mewakili rasa bahagianya.
"Akan sampai kapan kita disini?" suara heni memecah keheningan.
Iyan menghela napas panjang lalu mendekatkan wajahnya.
"Sampai aku puas memandangimu" gombal iyan.
Heni tersenyum " aku tegaskan padamu, kau tak akan pernah puas dalam memandangiku!"
"Aku rasa begitu, kau canduku, kekasih"
Rona pipi heni berubah, wajahnya semakin mendekat, jantung berdebar semakir keras, lalu mata mereka saling terpejam dan membuat kehidupan dalam gelap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi | Meditasi Rasa

Meditasi Rasa